Lagu Al Jarreau Pun Asyik Dimainkan Pakai Angklung
Siswa siswi dari 12 negara terampil memainkan angklung pada acara Gapura di Dago Tea House, Sabtu (24/8/2013).
LUAR biasa. Permainan musik angklung, yang biasanya mengiringi atau membawakan tembang-tembang tenang dan lambat, kini mampu menyuguhkan lagu-lagu yang berirama cepat. Sebut saja Boogie Down. Lagu yang dipopulerkan Al Jarreau yang begitu cepat itu dapat dibawakan cucu almarhum Udjo Ngalagena, "Ajay" Fajar Insani (12). Lagu Rolling In The Deep, yang dipopulerkan Adele, juga bisa dibawakan siswa-siswi dari dua belas negara yang baru belajar seni budaya selama dua bulan di Yayasan Saung Angklung Udjo.
Hadirnya perwakilan asing dari berbagai negara, yaitu Norwegia, Jerman, Tibet, Azerbaijan, Thailand, Kepulauan Pasifik Samoa, Inggris, Australia, Papua, India, Kepulauan Pasifik Piji, dan Turki, menjadikan ratusan penonton semakin terpesona dan bertambah semangat untuk mengenal angklung lebih jauh lagi.
"Ayo, orang luar negeri saja sudah bisa main angklung, malah sudah bisa menari seperti orang Sunda. Bagaimana dengan orang Sunda sendiri, khususnya generasi muda? Ayo belajar seni budaya sendiri," ujar Atang Warsita, yang didaulat sebagai pembawa acara pada pergelaran Aktivasi Taman Budaya yang bertajuk "Galindeng Dapuran Awi" (Gapura) di Teater Terbuka Balai Pengelolaan Taman Budaya (BPTB) Jabar, Dago Tea House, akhir pekan lalu.
Tak hanya itu, para perwakilan asing yang mengenakan kostum penari tradisional Sunda juga sebelumnya berhasil membawakan tembang Manuk Dadali dan Beas Beureum. Bahkan mereka pun memberikan bonus suguhan berupa tarian rakyat Sunda.
Lagu-lagu yang dibawakan para perwakilan asing dan Ajay, pemain muda dari Saung Udjo yang berbakat itu, dimainkan dengan angklung toel. Ini model angklung terbaru karya inovasi dari salah seorang putra almarhum Udjo Ngalagena, Yayan Mulyana Udjo, pada tahun 2010. Disebut angklung toel karena angklung-angklung yang ditempatkan pada sebuah dudukan dan dipasang secara terbalik itu dibunyikan cukup dengan sentuhan tangan. Karena konstruksinya yang demikian, setiap lagu pun dapat dimainkan oleh seorang pemain dan bisa memainkan lagu yang memiliki perpindahan nada cepat.
"Saya merasa senang bisa tampil di sini. Saya juga sangat senang dalam program ini bisa belajar seni budaya Sunda," ujar Beth Nicole Rawlins, seorang guru asal Inggris yang mengikuti studi seni budaya Indonesia dari Kementerian Luar Negeri Indonesia selama tiga bulan, saat ditemui seusai pementasan.
Selain menyuguhkan angklung toel yang mampu dibawakan seperti piano, pergelaran Gapura itu diawali dengan pergelaran angklung buhun lengkap dengan sajian seni prosesi ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat tempo dulu sebagai wujud doa dan syukur kepada Sang Pencipta.
Suguhan angklung buhun yang dibawakan kelompok masyarakat dari daerah Nangerang, Cililin, Kabupaten Bandung Barat, pimpinan Abun Somawijaya, itu sangat memberikan arti. Ratusan penonton pun menjadi tahu awal mulanya penggunaan angklung oleh masyarakat, khususnya di tatar Sunda. Permainan angklungnya begitu sederhana, jumlahnya hanya beberapa buah angklung dalam laras pentatonis mirip salendro, dan memainkannya pun tampak sederhana, yakni hanya dengan berulang-ulang dalam pola ritmik saja.
Setelah mengenal awal mulanya penggunaan angklung, penonton mendapat suguhan perkembangan penggunaan angklung yang mulai berkembang, sebelum munculnya angklung toel. Persembahan ini disuguhkan oleh kelompok kesenian angklung Awi Sada dari Banjaran, Kabupaten Bandung, yang mengolaborasikan angklung pentatonis dengan alat musik bambu lainnya, seperti kohkol, kosrek, kapiar, toleat, suling, celempung, dan lain-lain.
Kelompok SMA Negeri 1 Bandung yang diasuh Dadang Sunjaya pun membawakan angklung pentatonis dalam laras madenda dan pelog degung. Sementara biasanya angklung pentatonis merupakan angklung berlaraskan salendro padantara. Dalam penampilannya, mereka mampu mengiringi penyanyi Sunda ternama, Rita Tila, dengan lagunya antara lain Es Lilin dan Bulan Sapasi. Selain itu mereka membawakan sajian musik angklung diatonis hasil karya almarhum Daeng Sutigna. Dalam membawakannya mereka menyuguhkan lagu Mojang Priangan, Bungo Jempa, Yamko Rambe Yamko, dan Laskar Pelangi.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar, Drs Nunung Sobari MM, mengatakan kesenian angklung menjadi pilihan pada Aktivasi Taman Budaya ini karena selama ini masyarakat sudah banyak mengenal angklung melalui berbagai media informasi atau sosial, bahkan banyak yang pernah melihat langsung pergelarannya. Namun masih ada bagian yang belum terekspos lebih lengkap, seperti rangkaian perjalanan sejarahnya dari awal sampai sekarang. Terutama mengenai suara yang berhubungan dengan notasi pada angklung.
"Dengan pergelaran Gapura atau Galindeng Dapuran Awi, yang berarti alunan rumpun bambu, diharapkan masyarakat lebih tahu tentang kesenian angklung. Gapura sendiri dalam arti bahasa umum adalah pintu gerbang, maka tema ini mengandung pesan semoga dapat membuka wawasan lebih luas khazanah seni angklung di Jawa Barat," ujarnya. (*) Dedy Herdiana, TribunJabar