
 
  HIMPALAUNAS.COM, JAKARTA - Bagi masyarakat Sunda, siapa tidak kenal 
dengan tokoh Daeng Soetigna, salah satu seniman kondang yang menemukan 
musik angklung diatonis. Pada tahun 1968, beliau dianugrahi Satya 
Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto dan Anugerah Bintang Budaya 
Parama Dharma tahun 2007 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Lahir
 di Garut, Jawa Barat, 13 Mei 1908. Sejak kecil mengemari Angklung. 
Setelah lulus dari Kweekschool (1928), Daeng mengajar di Schakel School 
Cianjur, Jawa Barat (1928-1932), lalu pindah mengajar di HIS Kuningan, 
Jawa Barat (1932-1942). Pada saat mengajar di Kuningan inilah ia 
mempelajari seluk beluk angklung secara lebih mendalam.
Encle, 
nama panggilannya, dikenal sebagai penemu musik angklung diatonis. Awal 
mulanya ketika dua orang pengemis datang kerumahnya di Kuningan, Jawa 
Barat, tahun 1938 dan memainkan angklung pentatonis. Bunyi angklung 
tersebut membuat hatinya tergetar dan membeli angklung pentatonis 
tersebut. Ketika angklung pentatonis itu ada di tangannya, pikiranya 
mulai bekerja dan ingin membuat angklung diatonis. Namun, secara teknis,
 ia tidak bisa membuat angklung. Untuk mengatasi persoalannya, ia 
belajar kepada pakar angklung bernama Djaya.
Setelah bisa membuat
 angklung, ia berupaya membuat angklung yang bertangga nada diatonis. 
Bekalnya membuat angklung diatonis berawal dari kepiawaiannya menguasai 
beberapa alat musik yang berasal dari Barat, seperti gitar dan juga 
piano.
Ia menganggap angklung diatonis lebih komunikatif untuk 
diajarkan kepada anak-anak. Kalau angklung tradisional merupakan 
angklung renteng yang dimainkan oleh seorang saja, maka angklung yang 
dibuat olehnya dimainkan secara bersama, setiap orang memegang angklung 
yang membunyikan hanya satu nada saja, harmoni tercapai dengan kerjasama
 yang rapih
Pada awalnya, permainan angkung ciptaannya hanya 
dikenal di kalangan anak-anak Pramuka di Kuningan. Selanjutnya, setelah 
angklung diatonis dikenal di kalangan Pramuka sebagai alat musik yang 
menyenangkan, akhirnya permainan musik angklung diatonis bisa diterima 
dan diajarkan di sekolah.
Mendapatkan kesempatan memainkan 
angklung ciptaannya dalam forum Perundingan Linggarjati pada 12 November
 1946, yang saat itu dihadari banyak tokoh asing, baik dari Belanda 
maupun pihak-pihak lainnya. kembali diminta Presiden Soekarno untuk 
memainkan pertunjukan angklung tersebut di Istana Negara, Jakarta, dalam
 acara perpisahan dengan Laksamana Lord Louis Mounbatten, Panglima 
Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara, yang juga hadir dalam acara 
Perundingan Linggar Jati.
Pada tahun 1955 dalam kesempatan acara 
Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka, Bandung. Ia juga diminta 
membuat konser angklung yang dikreasinya itu. Sejak itu, angklung 
diatonisnya sering di pertunjukan dalam acara-acara resmi, seperti dalam
 World Fair di New York, Amerika Serikat (1964), dimana ia memimpin 
pertunjukan kesenian termasuk angklung di paviliun Indonesia selama 8 
bulan. Dilanjutkan dengan mengadakan pertunjukan di Belanda dan 
Perancis. Tahun 1967, ia mengadakan pertunjukan muhibah berkeliling di 
berbagai kota di Malaysia.
Atas jasa-jasanya mengembangkan musik 
angklung, Daeng Soetigna, yang pernah mendapat tugas belajar Colombo 
Plan ke Australia (1955-1956) ini, mendapat piagam penghargaan dari 
Gubernur Jawa Barat (1966), piagam penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta
 (1968) Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto (1968), Anugerah
 Bintang Budaya Parama Dharma (2007) dari Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono dan diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional dari Jawa Barat
 dalam bidang seni dan budaya
Daeng Soetigna wafat di Bandung, 
Jawa Barat, 8 April 1984. Untuk melakukan penghormatan terhadap 
jasa-jasanya, para seniman di Jawa Barat, merealisasikan sebuah acara 
yang mengambil tema ‘Daeng Soetigna: A-trail Top Inovation In World 
Music History’, pada 20 Desember 2008 lalu. Acara ini diisi oleh 
berbagai jenis kegiatan seminar yang dipandu oleh musisi Dwiki Dharmawan
 di Saung Angklung Udjo, Jl Padasuka Bandung. (berbagai sumber/fir)