Sejarah Angklung di Indonesia
Berdasarkan Perkembangan Angklung di Indonesia
Indonesia Negara tercinta adalah sebuah Negara dimana
bambu tumbuh dimana-mana, dimulai dari sabang di sebelah barat dan Merauke di
sebelah timur.
Untuk itu tidaklah aneh bila bangsa Indonesia
mengatakan bahwa bambu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa kita
sehari-hari.
Pernah suatu saat seorang asing yang telah mengunjungi
berbagai tempat dinegara kita ini berkata bahwa bangsa Indonesia itu merupakan
bangsa yang aneh; karena mereka membangun rumah mereka dari bambu, dimulai dari
lantai, dinding, atap, tiang, juga peralatan dapur dan kebutuhan sehari-hari
semua dari bambu, bahkan makan pun mereka makan bambu muda, dimana Negara kita
terkenal dengan rebung.
Bahkan didalam merebut, membela dan mempertahankan
Negara dari tangan penjajah”bambu” tidak sedikit berperan andil (bambu runcing)
dan malah sampai waktu meninggal pun bambu berperan penting (usung jenazah).
Hal lain yang menarik, bahwa Indonesia pun pandai
membuat alat musik sendiri terbuat dari bambu (suling, calung, munsang,
clempung, rengkong, angklung, hatong, dan lain sebagainya).
Sejak kapan timbulnya musik yang di buat dari bambu di
Indonesia, tidak dapat keterangan yang jelas. Beberapa ahli, seperti J. Kunst
(Mr. J dan C.J A Kunst “Musical Exploration in the Indian Archipelago” dalam
Asiatic Review, Oktober 1936, hal.814 dan Will G. Gilbert Muziek uit Oost-en
West, Inleiding tot de Inchemsche Muziek van Nederlandsch Oost-en West India,
(tidak bertahun) hal.9-10) berpendapat, bahwa beberapa alat musik bambu berasal
dari masa sebelum adanya pengaruh Hindu.
Menurut dugaan mereka, permulaan
berkembangnya alat musik dari bambu di Indonesia sangat erat hubungannya dengan
perpindahan penduduk dari daratan Asia yang kemudian menjadi nenek moyang
suku-suku Melayu Polinesia, beberapa Melanium sebelum Masehi. Dari bukti-bukti
yang dapat dikumpulkan, dengan terdapatnya alat musik dari bambu yang sama
bentuknya di Asia Tenggara, dugaan tersebut dapat di terima. Sebagai contoh,
alat musik bambu berdawai yang di Sulawesi Selatan disebut Gandrangbulo, di
Priangan terkenal dengan sebutan Celempung, di Jawa Tengah disebut Gumbeng atau
Gumbeng Jebah, di Bali dinamai Guntang.
Alat seperti itu, dengan berbagai variasinya antara
lain terdapat di Siam Utara (Hugo A. Bertzik, Die Gaister der Gelben Blutter
1938, hal. 174); di Laos (A. Schaeffoer, Origine des Instrumente de Musque,
1938 hal. XII.
Di Kamboja dikenal dengan sebutan Dianglye (Curt
Sachs), Die Musikinstrumente Indies und Indonesiens, 1915 hal. 97. Di beberapa
tempat di Malaysia biasa disebut Gendang Batak (Hendry Balfour, Musical
Instruments from Melay Peninsula, Antropology, part 11, 1954 hal. 17;
Orang-orang Sakai menyebutnya Krob, orang semang menyebutnya Amang (M.
Kelsinki, “Die Musik der Primitiv Stamme auf Malaka” Anthrops, XXV, 1930 hal.
591.
Demikin pula di berbagai daerah di Indonesia, dengan
berbagai variasi dan bentuk dan penamaan terdapat alat musik dari bambu
berdawai.Bahkan di Madagaskar, menurut Sachs, (Curt Sachs, Les Instrumente de
Musique de Madagascar, 1938 hal. 51) alat seperti itu terdapat pula, dikenal
dengan sebutan veliha, verdiha (na) atau marovany.
Dengan adanya persamaaan bentuk dari bambu sebagaimana
dikemukakan di atas, yang dapat dikatakan salah satu ciri persamaan selera dari
kebudayaan yang sama pendukungnya, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa
perkembangannya musik bambu di Indonesia erat kaitannya dengan perpindahan
nenek moyangnya dari daratan Asia. Perpindahan yang dimaksud mungkin sekali
perpindahan gelombang pertama, yakni perpindahan suku Negri to Weda yang
terjadi pada zaman Mesolitikum, bahkan tidak mustahil sebelumnya.
Sebagaimana dimaklumi sebelum adanya perpindahan suku
bangsa Palaeo Mongolid di Nusantara sudah ada suku-suku bangsa yang menetap
yang juga berasal dari daratan Asian yang kini sisa-sisanya antara lain adalah
pendududk asli Irian (M. Amir Sutarga, “Tjiri-tjiri Antopologi Fisik dari
penduduk pribumi” dalam buku : Penduduk Irian Barat, dbawah redaksi
Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar, 1963, hal. 22-23). Penduduk Irian
ternyata memiliki berbagai alat musik dari bambu, antara lain yang bentuknya
seperti di kenal di Pasundan dengan sebuah Kerinding, di Jawa Tengah dan di
Jawa Timur disebut Rindhing atau Genggong, dan Bali disebut Ginggung.
Alat seperti ini dapat ditemui di berbagai tempat di
Irian, seperti di sekitar Jambi, Tarung Garem Awembiak, Den Dema, di sekitar
Gunung Jaya Wijaya dan di Hulu sungai Apauwar. Periksalah lebih lanjut : L.M.
d’Alberts, New Guena, jilid I, hal. 359; W.N. Beaver, A description of the
Ciraca District, western Papua, jilid III, 1914 hal. 407, R. Parkinson, Im
Bismarck Arcchipel, Erlehnisse und Beobachtungen auf der Insel Neu Bommen, 1887
hal. 122; Curt Sachs, Geist und Werden der Musikinstrumente, 1929, jilid III,
gambar No.59; G.A.J van der Sande, Uitkomsten der Nederlandsche Niew Guenia
Expeditie onder leiding van Prof. A. Wichman, jilid III; ch. Le Roux,
“Expeditie naar het Nassaugebergie in Cental Noord Nieuw guinea”, TBG LXVI,
hal. 447-513, 1926; Dr. J. Kunst, A Sturly on Papuan Music, peta lampiran
“Distribution of Musical Instruments in New Guinea and the Adjacent Islands,
1931.
Dengan dikenalnya alat musik dari bambu oleh penduduk
pedalaman Irian Jaya yang dapat dikatakan sebagai monument kebudayaan zaman Batu
Tua, dapatlah kiranya diterima pendapat, bahwa alat musik dari bambu di
Indonesia sudah berkembang sejak zaman itu. Jadi tidak seperti pendapat Will
Gilbert, yang menyebutkan berkembangnya musik bambu di Indonesia sejalan dengan
perpindahan penduduk dari daratan Asia……… eerste millennium v. Christ (Will G.
Gilbert, op.cit, hal.20) atau seribu tahun sebelum Masehi, melainkan jauh
sebelum itu, mungkin antara 10.000 sampai 5.000 tahun sebelum perhitungan tahun
Saka.
Pada zaman itu kebudayaan setingkat dengan orang
Tasadi, suatu suku terasing di pedalaman Mindanau (Filipina) yeng belum
mengenal logam dan cocok tanam dan masih hidup di goa-goa. Orang Tasadi juga
mengenal alat musik bambu, yakni alat musik bambu berdawai yang mereka namai
kubing. Sebagaimana dimaklumi orang Tasadi ini baru ditemukan dan teradi kontak
dengan orang luar lingkungan mereka pada tahun 1971.
Alat-alat musik bambu yang tampak pada relief Candi
Borobudur dan candi-candi yang lain, dari bentuk dan jenisnya menunjukan adanya
pengaruh hindu, seperti Bangsing, (suling lintang, wangsi). Sedang alat-alat
yang sudad ada sebelumnya, seperti alat musik berdawai dan sebagainya, tidak
digambarkan. Gambang bambu seperti yang digambarkan pada relief Borobudur dan
teras depan Prambanan, sampai sekarang masih merupakan alat musik sacral di
kalangan penganut agama Hindu di Bali. Di beberapa pura tua, seperti di pura
Kelaci Denpasar, terdapat gambang demikian yang kelihatan sudah sangat tua.
Alat itu biasa dipergunakan dalam upacara-upacara penting terutama dalam
Pengaben.
Sebagai makhluk yang berakal, bagaimanapun
sederhanaya, dalam mencukupi hajat kebutuhannya, nenek moyang bangsa Indonesia
sejak zaman purba telah memanfaatkan bahan yang mudah didapat dan dibuat alat,
yaitu bambu.
Perubahan bentuk dan peningkatan mutu alat-alat musik
dari bambu tampak sangat lamaban, bahkan ada yang sama sekali tidak mengalami
perubahan. Di beberapa daerah dewasa ini masih terdapat alat musik dari bambu
yang hanya berupa ruasan bambu yang dibunyikan dengan cara ditumbuk-tumbukan
pada sebuah papan, seperti Garantang di Tohpati Kasiman, Bali.
Ada pula yang ditabuhnya dengan dipukul dengan pemukul
dari kayu, seperti Guyonbolon di Banjaran, Bandung Selatan. Tongtong atau
kentongan, bambu tersebar diberbagai daerah di Indonesia. Di daerah Sumenep,
Madura, Tuk-tuk, biasa digunakan sebagai bunyi-bunyian pengiring karapan Sapi,
dilengkapi dengan Sronen, semacam terompet yang tabungnya dibuat dari bambu
pula.
Tennong di Pangkajene, Sulawesi, adalah sebuah alat
bambu sederhana pula, berbentuk bilahan bambu sebanyak 4 buah, dijajarkan di
atas paha pemainnya. Dalam hal ini paha berfungsi sebagai penyangga dan
sekaligus menjadi resonator.
Menurut keterangan dari orang tua setempat, Tennong
biasa dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu rakyat di Pangkajene Kepulauan.
Di sekitar Cakung-Jakarta Timur, alat musik semacam
Tennong, tetapi dilengkapi dengan penyangga dari gedebong pisang di sebut
Sampyong, biasa digunakan sebagai Ujungan atau Tari Uncul.
Alat musik dari bambu yang mengalami perkembangan yang
wajar adalah suling. Hampir disetiap suku bangsa di Indonesia mengenal dan
memiliki suling dengan berbagai bentuk dan jenis, serta fungsi. Contohnya di
Pasundan terdapat semacam suling yang disebut Surilit, Taleot, Harong, Hatong
Renteng, Hatong Sekaran, Elet, Calintu, dan Bangsing.
Diantara berbagai macam suling terdapat pula yang
digunakan sebagai alat musik yang berhubungan dengan adat kepercayaan setempat,
seperti Suling Lombang, di Tanah Toraja. Suling dapat memebawakan lagu-lagu
sedih yang menyayat hati, atau lagu-lagu yang menggembirakan pendengarnya.
Dapat pula dibawakan lagu-lagu syahdu berjiwa keagamaan. Itulah mungkin antara
lain sebabnya di Maluku suling diperkembangakn sebagai alat musik Gerejani.
Di
Ambon dan Lease nyanyi-nyanyian Jemaat Gereja biasa diiringi Orkes Suling, yang
dibawakan oleh sejumlah pemuda.
Menurut pendapat Dr. Th. Muller Kruger, bila
dibandingkan dengan iringan orgel-orgel kecl yang dipakai oleh kebanyakan
jemaat-jemaat di Indonesia, orkes suling bambu jauh lebih baik dan bermanfaat.
Alat-alatnya mudah dibuat sendiri dari bahan yang banyak terdapat di Indonesia.
Sedang Orgel harus dibeli dengan harga yang mahal dari luar negeri. Taraf
musiknya pun orkes suling bambu tidak kurang indahnya dari orgel.
Manfaatnya untuk kehidupan gerejani banyak pula, sebab
dengan digunakannya orkes suling bambu para pemuda mendapat tugas dan tanggung
jawab dal kebaktian-kebaktian. Orkes suling bambu di Maluku dikembangkan oleh
Jozef Yam, seorang domine yang disana dikenal dengan sebutan “Rasul Maluku”
yang melakukan pekabaran Injil di Indonesia bagian timur sejak tahun 1816 (Dr.
Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, 1966 hl. 95).
Rupanya di Filipina suling bambu sebagai alat musik
Gerejani pernah ditingkatkan lagi bentuknya, yakni disusun sebagai organ.
Sebuah organ bamboo yang dibuat tahun 1819 dibawah pengawasan seorang Rahib
Ahustin di beritakan pada tahun 1973 dalam keadaan rusak berat, sehingga untuk
perbaikinya diperlukan danma sebesar 64.000 dollar Amerika (Harian Umum Berita
Buana, 13 Juni 1973 hal. 4). Hal ini saya kemukakan sekedar memberikan gambaran
betapa besar apresiasi ,asyarakat tetangga kita itu terhadap alat musik bambu
yang telah dikembangkan.
Alat musik bambu lainnya yang mengalami berbagai
pasang surut dalam perkembangannya adalah angklung, sebagaimana akan kita
tinjau bersama.
Sejak kapan angklung muncul dan berkembang, merupakan
pertanyaan yang saya tidak dapat menjawabnya dengan pasti. Menurut perkiraan
Dr. Groneman, sebelum berkembangnya pengaruh Hindu di Indonesia Angklung sudah
merupakan alat musik yang digemari penduduk (Dr. J. Groneman. “De Gamelan to
Jogjakarta, Letterkundige Vehadelingen der Koninkl, Akademi, jilid XIX, hal.
4).
Sebagai alat musik pra Hindu, Angklung tidak
digambarkan pada candi Borobudur dan Prambanan, sebagaimana halnya alat musik
bambu lainnya yang sudah berkembang sebelum zaman zaman Hindu di Indonesia,
misalnya alat musik bambu berdawai.
Dalam literature kuno pun saya tidak atau belum
menemukannya, Kekawin Arjunawiwaha yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1040
hanya menyebut-nyebut Sundari (semacam erofon yang di Jawa Barat dikenal dengan
sebutan Sondari, di Bali Sundaren). Calung yang dewasa ini terdapat di Jawa Barat
dan Jawa Tengah, disebut-sebut dalam Inskripsi Buwahan yang diperkirakan dibuat
sekitar tahun 1181.
Guntang alat musik bambu berdawai yang penyebarannya
meliputi Asia Tenggara sampai Madagaskar, dan sampai sekarang di Bali tetap
disebut Guntang, terdapat dalam Kekawin Kidung Sunda yang diperkirakan ditulis
tidak lama setelah tahun 1357. Alat yang di Priangan disebut Pancurendang, di
Jawa Tengah disebut Bluntak, dan di Bali disebut Taluktak, disebut-sebut dalam
kekawin Bharata Yuda. Tongtong atau kentongan bambu disebut-sebut dalam
Sudhamala dengan Kulkul, dalam Samarandana disebut Titiran, dan dalam Bharata
Yudha disebut Kukulan. Baru dalam tulisa-tulisan kemudian seperti dalam serat
Cebolang, Angklung disebut-sebut, yaitu waktu melukiskan saat Mas Cebolang
mempertunjuknan keahliannya menyanyi dan bermain musik didepan Bepati Dhaha
Kediri.
Angklung yang dibunyikan dengan cara
digoyang-goyangkan adalah termasuk golongan lonceng. Seperti lonceng, angklung
bersifat khidmat serta biasa digunakan dalam hubungan kegiatan ritual. Di
beberapa tempat di Bali angklung biasa digunakan khusus dalam upacara Pengaben
(pembakaran mayat). Namun dewasa ini hal itu terbatas pada kelomopok penduduk
yang tidak memiliki angklung metalopon, seperti penduduk Banjar Tegalingah,
Karangasem.
Orang Baduy di Kanekes , Bnaten Selatan, mempergunakan
angklung sebagai alat musik upacara pada waktu menjelang menanam padi di
ladang, sebutannya Angklung Buhun.
Angklung Gubrag di kampong Jati, Serang, dianggap alat
musik sacral, untuk mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau menolak
wabah.
Seperti halnya di Kanekes, di sekitar Kulon Progo
terdapat angklung yang digunakan dalam upacara Bersih Desa, permulaan musim
menggarap sawah, disebut Angklung Krumpyung. Demikina pula di desa Ringin Anca
dan Karangpatian, Ponorogo, upaca Bersih Desa biasa diiringi Orkes Angklung.
Pada umumnya dewasa ini di berbagai tempat, angklung
merupakan alat kesenian yang profan, seperti halnya di Madura. Di pulau itu,
sepanjang pengetahuan saya angklung hanya terdapat di Desa Keles, Kecamatan
Ambuten, dan di desa Biuto, Kecamatan Srunggi, keduanya termasuk wilayah
kabupaten Sumenep, biasa digunakan untuk memeriahkan arak-arakan.
Menurut keterangan, dahulu di beberapa tempat di Kalimantan
Barat terdapat angklung, yang contohnya tersimpan dalam Museum Insdisch
Institut di Negeri Belanda, tercatat dalam katalogus No. 1297/1-2 dan 1767/1-3.
Akan tetapi dewasa ini menurut beberapa tokoh
kebudayaan dan pejabat-pejabat Kanwil Depdikbud Kalimantan Barat, di wilayah
itu tidak terdapat lagi angklung tradisional.
Di Kalimanatan Selatan sekarang masih terdapat
angklung tradisional yang dikenal dengan sebutan Kurung-kurung, biasanya
digunakan untuk mengiringi pertunjukan Kuda Gepang (Sie) yang bentuk dan cara
pertunjukannya hampir sama dengan Kuda Kepang di Jawa Tengah.
Menurut keterangan, Kata Gepang disini berarti gepeng
atau pipih. Jadi berlainan dengan arti anyaman, walaupun bentuk dan
kuda-kudanya sama, yaitu terbuat dari anyaman bambu.
Di Lampung pada masa-masa yang lalu terdapat pula
angklung tradisional, yang contohnya dipamerkadi Museum Leidan, Negeri Belanda
dengan katalogus No. 40/58. Namun sekrang sulit untuk mendapatkan keterangan
mengenai angklung tradisional di wilayah tersebut, kecuali yang dikembangkan
oleh beberapa kelompok transmigran dari Jawa.
Sebagaimana telah dikemukakan, hampir tidak ada
keterangan tertulis autohtonis dari angklung pada masa dahulu, yang terdapat
hanyalah cerita-cerita lisan, sebagaimana terdapat dalam beberapa cerita rakyat
di Kanekes, Banten Selatan yang biasa dibawakan dalam bentuk pantun. Menurut
cerita di sana, pada masa kebesaran Pajajaran, kerajaan di Pasundan, disamping
sebagai alat musik upacara pertanian, angklung biasa digunakan sebagai alat
musik angkatan bersenjata, semacam Marching Band.
Melihat cara-cara permainan angklung di Banten selatan
dan di beberapa tempat Priangan, demikian pula peranannya dalam pertunjukan
Reog Ponorogo dan permainan Kuda Kepang, kemungkinan dipergunakannya angklung
sebagai alat musik tidaklah mustahil.
Hal itu dinyatakan oleh beberapa pengamat Belanda,
antara lain seorang dengan initial G.J.N., dalam zaman INDIE tahun pertama, No.
21, 22 Agustus 1917 hal.330 tentang angklung di Priangan, dengan tegas
mengatakan : “En geen wonder : de angkloeng is militaire muziek” (“dan tidak
mengherankan: angklung memang musik militer”).
Demikian seorang dengan naman samaran “Bianca” dalam
majalah de ORIENT No. 52, 24 Desember 1938, tentang angklung sunda antara lain
menulis; Over het algemeen draagt angkloeng muziek een opwekkend en vroolijk
karakter, maar het heft ook zijn krijgslystige en mystiekezijde (“pada umumnya
musik angklung menggairahkan dan menggembirakan, tetapi juga dapat menimbulakan
semangat perjuangan dan mistik”).
Penulis lain yang anonim adalah majalah WOLANDA HINDIA
tahun ke-12 No.6, 1939, setelah menyaksikan beberapa pertunjukan angklung
Priangan, antara lain menulis: Dat deze muziek indruk op de beveling maakt, is
bewezen. Zij beluisteren in de klanken krijgsmuziek, tewijl daartegen over bij
anderen zinnelijke aandoeningen worden opwekt” (Bahwa musik ini maksudnya musik
angklung, pen) dapat menimbulkan kesan mendalam bagi penduduk, cukup terbukti.
Mereka mendengar musik parang dalam bunyinya, sedang bagi yang lain menimbulkan
emosional”).
Demikianlah pengaruh musik angklung pada pendukungnya
di Priangan pada masa lalu. Maka tidak mengherankan bila pada pertengahan abad
ke XIX, ketika di Pasundan sedang giat-giatnya dilaksanakan apa yang disebut
“Cultuurstelsel” atau peraturan tanam paksa oleh pemerintah Hindia Belanda
diadakan larangan terhadap permainan angklung.
Alasan larangan itu, karena menurut pengamatan
beberapa pembesar Belanda Kolonial, permainan angklung berpengaruh terhadap semangat
perlawanan rakyat atas kekuasaan pemerintah jajahan dalam larangan itu
dikecualikan permainan angklung anak-anak dan pengemis, mungkin karena dianggap
tidak menimbulakan keresahan dan tidak membahayakan bagi ketentraman pemerintah
jajahan Belanda.
Sejak itulah angklung turun derajatnya dari alat musik
militer dan alat musik upacara yang dianggap sakral menjadi alat musik yang
biasa digunakan oleh pengemis untuk mencari nafkah sepanjang jalan dari belas
kasihan orang.
Setelah larangan itu dicabut, yaitu sejak dihapusnya
sistem tanam paksa, angklung tidak banyak lagi pengaruhnya bagi penduduk,
kecuali sebagai alat musik dalam berbagai pertunjukan rakyat seperti reog atau
ogel.
Keadaan nasib angklung di Priangan yang demikian itu
berlangsung hampir satu abad. Baru menjelang masa penjajahan Jepang terjadi
perubahan, sebagai hasil kreativitas dan usaha tidak kenal mundur dari Daeng
Soetigna, seorang Guru di Kuningan, kelahiran Garut.
Pada masa gerakan kebangsaan di kalangan bangsa
Indonesia makin menggelora, angklung yang sekian lamanya ikut menjadi korban
penjajahan asing, mulai terjaga kembali.
Sejak tahun 1938 Daeng Soetigna dengan tekun
mengadakan eksperimen-eksperimen agar angklung yang diketahui sebagai salah
satu unsur seni budaya bangsanya dan merupakan warisan yang pantas dipupuk dan
dikembangkan, mendapat tempat yang layak di kalangan masyarakat luas.
Setelah lama dipelajari dari berbagai segi, Pak Daeng
sampai pada kesimpulan, bahwa angklung dapat cepat popular harus disesuaikan
dengan selera generasi muda, yaitu diubah tangga nadanya dari pentatonis
menjadi diatonis.
Setelah mengalami berbagai hambatan dan kegagalan,
akhirnya usaha inovator itu berhasil dengan memuaskan.
Angklung kembali mendapat tempat yang layak di
masyarakat. Bahkan mendapat reputasi internasional, sebagaimana terbukti dari
pernyataan seorang musikus besar Australia IGOR HMEL NITSKY pada tahun 1955,
sebagai berikut :
“It is with pride and admiration that take this
opportunity of placing on paper my surprise delight that Daeng Soetigna has
found such a practical and fasginating method af teaching the youth of
Indonesia how to a appreciate and play their own historic instrument, the
angklung. His original idea of enabling young children to read and understand
that tonal structure by visual and practical demonstration, is to say the
least, wonderful.
This extraordinarily talented young teacher has also
found a way in which to use is national idion to bring European music to the
people of his country. The great value in giving the players the rare
combination of pleasure and discipline-i.e. good teamwork which would give a
unique satisfaction both to performers and audience.
I doubt whether Australia is the ideal place in which
he should study further, and feel that his development would be best nurtured
by study and research in European contries, and I sincerely hope that he will
have the opportunity of so doing, and thus be in the position to further enrich
his countrymen in this practical, educational, cultural and national interest”
Dengan kreasi Pak Daeng itu ternyata kemudian,
bahwa angklung dapat dijadikan sarana pendidikan untuk mempertebal jiwa gotong
royong, kerjasama, disiplin, kecermatan, ketangkasan, tanggungjawab dan
sebagainya, disamping pemupu rasa musikalis.
Berdasarkan hal-hal itulah, meskipun menurut anggapan
beberapa pihak, angklung sebagai alat musik memiliki beberapa kekurangan, akan
tetapi dapat dipertanggungjawabkan sebagai alat pendidikan, sehingga Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan memandang perlu untuk menetapkannya sebagai alat
pendidikan musik di sekolah, dengan Surat Keputusan tertanggal 23 Agustus
1968, No.082/1968 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah memutuskan:
1. Menetapkan angklung sebagai alat pendidikan musik
dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
2. Menugaskan Direktur Jenderal Kebudayaan untuk
mengusahakan agar angklung dapat ditetapkan sebagai alat pendidikan musik tidak
hanya dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Demikian, angklung seolah-olah melambangkan pasang
surutnya sejarah bangsa Indonesia. Ketika bangsa Indonesia berada dalam telapak
kaki penjajah, angklung hanya menjadi alat musik pengemis. Dengan dicapainya
kemerdekaan, kembali angklung menjadi alat musik yang dapat dibanggakan.
…….Angklung sudah mengajarkan kepada kita untuk hidup
berdampingan dalam keberbedaan untuk mencapai tujuan bersama, dengan demikian
janganlah mengharamkan perbedaan, justru dengan adanya perbedaan maka lahirlah
sebuah harmoni. Jadi perbedaan itu bukan untuk ditandingkan, tapi untuk
disandingkan. Dengan perbedaan kita coba mengembangkan kekuatan baru.
(semoga artikrl ini menambah wawasan kita terhadap
"Warisan Budaya Indonesia "musik angklung" yang harus kita
lestarikan dan kembangkan bersama, semoga ada langkah real ke depannya dan
memberikan warna tersendiri untuk keberagaman seni dan budaya Indonesia"