CILUMUS – Akhir pekan lalu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kuningan
menggelar sebuah acara yang memiliki makna sejarah yang selama ini
nyaris terlupakan bagi warga Kuningan, yakni perhelatan angklung.
Perhelatan Gerakan Cinta Angklung dengan mengusung tema Angklung Mulang
Kampung ini dipentaskan di Open Space Gallery Linggarjati (OSG)
Kuningan, yang disajikan oleh ratusan siswa SMA dari empat sekolah.
Meski di tengah rintik-rintik hujan yang mengguyur OSG tak mehalangi
para undangan dan penonton untuk datang dan menyaksikan pagelaran
angklung dan kesenian tradisi lainnya. Alunan musik angklung yang
dimainkan oleh 120 siswa SLTA dari SMAN 3 Kuningan, SMAN 1 Kadugede,
SMAN 1 Cilimus dan SMKN 3 Kuningan, ditingkahi dengan hentakan kendang, drum
dan alunan arumba yang dimainkan anak-anak Masayarakat Musik Angklung
Bandung menambah semaraknya pagelaran Gerakan Cinta Angklung.
Dari pagelaran tersebut memunculkan pertanyaan, kenapa untuk
mencintai angklung harus menjadi gerakan? dan mengapa pulangnya ke
Kuningan? Menurut Kadisparbud Drs Teddy Suminar, angklung yang sudah
diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda, asli Jawa Barat
keberadaannya sudah melanglangbuana.
Sebagai konsekwensinya, lanjut dia, harus terus dimasyarakatkan dan
dijaga kelestariannya, sehingga masyarakat mampu mengapresiasi dengan
menumbuhkan rasa bangga dan mencintai musik angklung. Musik angklung
sudah ada sebelum kerajaan Sunda berdiri atau sekitar 1.030 M, yang
terbatas digunakan pada ritus keyakinan masyarakat setempat, terutama
menjelang musim tanam padi.
Di Kuningan, angklung pentatonis dikenalkan oleh Bapak Jaya, Kuwu
Citangtu saat itu, dalam perjalanannya membuat Daeng Sutigna tertarik
untuk mengembangkan angklung pentatonis menjadi diatonis. Kemudian pada
tahun 1938, Daeng Sutigna seorang guru Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Kabupaten Kuningan telah melakukan inovasi terhadap musik angklung.
Angklung yang semula sangat sederhana dan bertangga nada pentatonis
dikembangkan menjadi angklung kompleks yang berskala tangga nada
diatonis. Dengan perubahan tersebut, angklung dapat menjangkau
repertoar lagu-lagu populer dalam musik nasional maupun lagu-lagu
populer dalam khazanah musik barat.
“Dengan demikian, masyarakat Kuningan selayaknya bangga dan memiliki
tanggungjawab moral terhadap pengembangkan angklung diatonis yang
merupakan ikon produk budaya Kabupaten Kuningan. Diharapakan dengan
adanya gerakan ini semua semakin mencintai kesenian angklung,” sebutnya.
Pergelaran yang dihelat selama dua hari itu (22-23 Desember) juga
diisi dengan pertunjukan seni tradisi, yakni angklung etnik, angklung
kontomporer , calung, celempung, dan arumba. Selian itu juga digelar workshop
dan pemeran angklung. “Kami sangat puas dengan peregelaran ini dan
tentunya respons dari masyarakat. Apabial cuaca tidak hujan masyrakat
yang hadir pasti akan ramai,” pungkas Teddy kepada Radar, kemarin (25/12).(mus)
by. Radar Cirebon.