DOK. "PRLM"
PERAJIN membuat angklung di Saung Angklung Udjo (SAU), Jln. Padasuka Kota Bandung.*
BANDUNG, (PRLM).- Pemerintah dan masyarakat sama-sama telah berbuat khilaf melupakan kewajiban menjaga warisan leluhur. Harus dilakukan upaya nyata antara pemerintah dan masyarakat dalam menyelamatkan kekayaan budaya yang mulai diakui negara lain.
Dikatakan Theresia E.E. Pardede, S.Sos, anggota Komisi X DPR RI, bahwa klaim negara lain maupun kurang diminatinya sejumlah seni budaya yang merupakan warisa leluhur sepenuhnya bukan hanya kesalahan pemerintah. “Peristiwa yang kini sedang terjadi dan akan terus terjadi merupakan perbuatan khilaf kita bersama, baik pemerintah maupun masyarakat sendiri,” ujar Theresia, yang dikenal dengan panggilan Tere, pada diskusi “Angklung is Indonesia” bertempat di Gedung Indonesia Menggugat, Senin (9/8).
Di Indonesia, menurut Tere, pemerintah sudah menerbitkan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, namun dalam prakteknya masih banyak pelanggaran yang terjadi. Hingga saat ini karya seni budaya yang merupakan warisan maupun kekayaan milik negara serta karya-karya seniman dan budayawan belum dihargai sebagaimana mestinya.
Berkenaan dengan keberadaan alat musik angklung, Tere mengajak masyarakat maupun komunitas angklung untuk bersama-sama memiliki komitmen. “Komitmen yang harus ditumbuhkan adalah sama-sama untuk saling menjaga dan melestarikan,” ujarnya.
Sementara Handiman, salah seorang praktisi musik angklung yang juga murid dari almarhum Daeng Soetigna, mengatakan bahwa mundurnya pamor angklung dimasyarakat dikarenakan bergesernya fungsi dari angklung sendiri. “Dulu, saat pertamakali almarhum (Daeng Soetigna) mengajarkan angklung kepada para guru maupun calon guru bertujuan untuk sarana belajar, berbeda dengan sekarang angklung lebih dititikberatkan sebagai sarana hiburan dan pegelaran,” ujar Handiman.
Hal senada dikatakan praktisi angklung lainnya, Deden, yang mengatakan bahwa fungsi angklung saat ini sudah merupakan sebagai sarana hiburan. Namun meski demikian kepedulian terhadap angklung masih sangat minim dan angklung masih dipandang sebagai kesenian tradisional.
“Sejak jaman pemerintahan Soeharto hingga Megawati, angklung menjadi acara khusus kenegaraan yang harus ditampilkan di Istana Merdeka. Tapi kini, angklung tidak lagi menjadi bagian dari acara kenegaraan, demikian pula pada acara-acara di lingkungan pemerintah daerah,” ujar Dede.
Kondisi-kondisi yang terjadi saat ini, baik yang diciptakan pemerintah maupun masyarakat, menurut Satria Januar Akbar, selaku penggiat kesenian angklung, menjadikan kesenian angklung semakin tersisihkan. “Jadi bila ada pihak lain yang mengklaim sangatlah wajar karena kita sendiri kurang memiliki kepedulian,” ujar Satria. (A-87/das)***